Sabtu, 10 Maret 2012

Menahan Amarah

Bimo adalah seorang anak yang mudah sekali marah. Kalau sudah marah, semua orang di sekitarnya pasti dimarahinya tanpa terkecuali. Pada suatu ketika, di bawah sebuah pohon di pinggir sungai, dia merenung sambil menggerutu. Rupanya, dia habis bertengkar dengan kawan sekelasnya.


"Ada apa, Nak? Kenapa siang-siang begini kamu di sini?" sahut sebuah suara di belakangnya.


Bimo menoleh, ternyata seorang kakek berjanggut putih sudah berdiri dibelakangnya. Ia membawa sebuah bungkusan dan sebuah balok panjang.


"Namaku Bimo, Kek. Aku habis bertengkar dengan Andi, teman sekelasku," jawab Bimo.


"Oh, kamu Bimo yang suka marah-marah itu, yach?" Kakek itu tersenyum.


"Kok Kakek tahu, apa Kakek mengenalku?" tanya Bimo. ALisnya mengerut karena heran. Kakek itu tertawa, hingga gigi-giginya yang ompong terlihat jelas.


"Siapa sich di RT sini yang tidak kenal Bimo," jawab Kakek itu.


"Karena itu, Kek, aku ingin menghilangkan sifatku yang mudah marah. Aku mulai dijauhi kawan-kawanku. Mereka tidak lagi ingin bermain denganku. Apakah ada caranya, Kek?" Bimo menatap Kakek itu, berharap akan mendapatkan jalan keluarnya.


"Tentu saja ada. Ambillah ini," Kakek itu menyodorkan bungkusan yang dibawanya, yang ternyata berisi paku dan sebuah balok kayu.


"Palulah paku-paku ini ke balok ini, setiap kali kau marah. Dan datanglah sebulan lagi kemari," lanjut Kakek itu.


Pada hari pertama, Bimo telah memalu 37 paku ke balok itu. Dua minggu kemudian, saat dia belajar mengendalikan kemarahannya, jumlah paku yang harus dia palu mulai berkurang dari hari ke hari. Ia tahu, ternyata lebih mudah untuk menjaga amarahnya, daripada memalu paku tersebut.


Sebulan kemudian, Bimo kembali ke bawah pohon itu sambil membawa balok itu, untuk menemui Kakek misterius. Ia menceritakan pengalamannya, selama berusaha mengendalikan amarahnya. Kakek itu tersenyum dan mengusulkan kepada Bimo, untuk mencabut sebuah paku setiap hari, saat dia bisa menahan sifat pemarahnya. Dan, kembali sebulan lagi.


Hari-hari berlalu dan sebulan kemudian, Bimo akhirnya mampu mengatakan kepada Kakek itu, semua paku telah dicabutnya.


Si Kakek tersenyum. Ia lalu berkata, "Kamu telah melakukannya dengan baik, Bimo. Tetapi, lihatlah lubang-lubang di balok itu. Tidak akan pernah hilang. Manakala kamu mengatakan sesuatu saat marah, hal itu akan meninggalkan bekas yang sama seperti lubang-lubang ini. Kamu dapat memalu paku-paku ini, dan mencabutnya. Itu tidak akan berarti, lubang-lubang itu akan tetap di sana. Karena itu, kendalikanlah omonganmu saat marah."


Dari kejauhan terdengar suara panggilan teman-temannya. Bimo menoleh dan membalas panggilan itu. Ia rupanya sudah berbaikan kembali dengan teman-temannya. Namun, ketika ia menoleh lagi, Kakek itu telah menghilang.


"Terima kasih, Kek," senyumnya. Ia berlari mendatangi teman-temannya, dan tak pernah menceritakan kejadian aneh itu kepada siapapun.

0 komentar:

Posting Komentar